Rabu, 14 November 2012

Kepercayaan Desa Kasuran, Perjuangan Pendiri Pondok Waria di Notoyudan dan Pemberdayaan di Desa Wisata Sidoakur

“Kepercayaan Desa Kasuran, Perjuangan Pendiri Pondok Waria di Notoyudan dan Pemberdayaan di Desa Wisata Sidoakur”

     Tugas pengganti UTS yang kami pilih adalah berkunjung ke beberapa lokasi. Mulanya saya ingin pergi sendiri, tetpi lebih seru jika dilakukan bersama maka saya pun melakukannya bersama beberapa rekan. Kami memilih beberapa tempat ini karena rekomendasi teman dan rekomendasi situs google.
Rabu 31 November, sekitar pukul 10 kami meninggalkan kompleks Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Kami berjalan ke arah selatan menuju Notoyudan. Di Notoyudan terdapat sebuah pondok pesantren khusus waria. Kami tertarik untuk mengunjungi tempat itu karena permasalahan ini (waria) tidak pernah dibicarakan di kelas. Beruntung kami mengenal situs google sehingga kami dapat mencari-cari tempat yang akan kami jadikan bahan analisis, namun saat itu kami kewalahan karena mondar mandir, bertanya sana sini karena kurang mengenal tempat tersebut. Sayang sekali, sesampainya di pondok tersebut tidak ada orang yang membukakan pintu yang tertutup rapat itu. Rupanya, berdasarkan informasi dari tetangganya, pemilik pondok tersebut sedang pergi ke kalimantan selama 10 hari. Tentu terbesit rasa putus asa pada siri kami semua. Lalu kami beranjak pada lokasi selanjutnya yang berjarak cukup jauh.
     Desa Kasuran. Itu yang menjadi alternatif lainnya. Sama seperti kasus pertama, kami buta arah dan pepatah “malu bertanya sesat di jalan” berlaku pada kami saat itu. Lelah melanda karena terik matahari sangat menusuk kulit-kulit ini. Sekitar pukul 14, kami menemukan lokasi kasur barat, sayangnya ibu dukuh desa tersebut tidak sedang dirumah. Rasa putus asa semakin berat untuk dipikul, menyerah, pulang dan menggantinya dengan meresume teori saja. Tapi masih ada satu tempat yang belum kami kunjungi, Kasuran timur... dan kami berharap dengan sangat agar perjalanan dari pagi tidak sia-sia. Meskipun ibu dukuh tidak ada, kami berusaha agar perjalanan ini tak nampak sia-sia, kami bertanya tentang desa Kasuran pada seorang nenek. Nenek terseebut menceritakan bahwasannya memang beliau tidur tidak dengan kasur karena sudah terbiasa dengan keadaan rakyat kecil dan kehidupan apa adanya, tidur dimana saja pun bisa, sehingga beliau tidak tidur di kasur.
Alhamdulillah. Bapak dukuh dapat kami temui sehingga dapat berbagi informasi dengan kami. Rupanya sudah banyak orang yang bertanya tentang desa Kasuran dan kami merupakan yang ke-14.
     Dahulu, pada zaman kerajaan majapahit, sunan kalijaga pernah jalan-jalan ke desa tersebut, lalu ingin menunaikan kewajiban sholat namun sayangnya tidak ada air, lalu ia menemukan sebuah pohon beringin, mematahkan rantingnya dan menancapkannya di tanah lalu keluarlah air pada tanah di dekat pohon beringin tersebut. Dan hingga sekarang air tersebut masih mengalir. Kemudian, beberapa tahun kemudian terjadi perang melawan belanda dan gara-gara pohon tersebut pula para belanda meninggal. Upanya di desa tersebut ada pihak yang tidaksuka dan suka pada pangeran diponegoro, terutama tokoh besar pada waktu itu yakni Nyai Kasur dan Kyai kasur. Keduanya bertengkar dan berpisah di timur dan di barat. Penduduknya pun juga seperti itu. Hingga sekarang pun masih seperti itu. Hinga kemudian terjadi beberapa keanehan (1) ada orang yang sakit terus menerus tanpa diketahui penyakitnya dan penyebabnya dan selalu melihat ular di tembok, padahal jika ada orang lain disana, tidak ada apa-apa. Lalu didapatkan bahwa orang tersebut tidur di kasur. Setelah membuang kasurnya, maka orang tersebut kembali sehat seperti sedia kala. Kasur yang dimaksud disini adalah kasur dengan bahan randu/kapuk. Berkali-kali orang mengalaminya dan diperingatkan. Sehingga pada desa tersebut tidak tidur dengan kasur melainkan dengan spons, atau tidak menggunakan apa-apa. (2) antara Kasuran timur dan barat menjadi pasangan suami istri, lalu keduanya meninggal. Maka antara keduanya kini tidak berani menikah karena perihal tersebut.
     Atas pemberitahuan bapak dukuh tersebut, hal  itu memang sudah banyak di buktikan. Tapi ini adalah takhayul sehingga masalah kepercayaan adalah pilihan pribadi, namun memercayai hal ghoib adalah pasti karena takhayul berbeda dengan hal ghoib.
Mata air tersebut kini masih ada dan dimanfaatkan warga sekitar. Rencananya kelak akan dibangun taman wisata air dan sebuah monumen di desa Kasuran timur tersebut.
     Sekitar pukul 16, kami selesai dan bergegas pulang ke rumah masing-masing.
Karena kami kurang puas dengan hasil sebelumnya, kami mencoba untuk melakukannya lagi. Pada hari selanjutnya, ahad, 11 november pukul 8, tidak seperti yang di rencanakan yakni pukul 7.30. Pagi ini adalah pagi yang mendung.. kami khawatir akan turun hujan sehingga pada mulanya, niat kami terkikis. Alhamdulillah Allah mendukung rencana kami jadi hari ini tidak hujan sehingga kami bisa melakukan tugas analisis.
     Pertama tama, kami kembali mengunjungi pondok pesantren khusus waria “Senin Kamis” yang berlokasi di Notoyudan GT II/1294, RT 85/ RW 24, Yogyakarta, lokasinya mudah di jangkau karena dekat dengan pnggir jalan... namun kesusahan untuk parkir karena jalan masuknya berupa turunan. Nampak depan suasana sangat sepi... tidak seperti bayangan pondok pesantren biasanya yang banyak sekali santri sehingga ramai karena mereka. Kami pun ragu untuk masuk... namun pintu terbuka lebar... maka kami pun mencoba mengetukpintu ...toktoktok... assalamu’alaikum... wa’alaikum salam.. mlebet mbak.. suaranya memang terdengar khas suara waria... tidak ngebass seperti suara lelaki dan tidak seperti suara perempuan ya seperti itulah... mulanya aku berpikir jika waria itu, mengerikan, berlebihan, terlalu kemayu...yaah... seperti yang di presentasikan di televisi... tapi kali itu, kami bertemu ibu waria yang ramah, kalem, biasa... jauh sekali dari bayangan sehingga berpikir dua kali, nggak semuanya waria kayak gitu kok... yang di tampilkan di tv terlalu berlebihan sehingga menimbulkan kesan negatif.
     Kasihan... itu kesan pertamaku bertemu ibu waria itu... beliau sendirian dan beliau sedang sakit... saat kami masuk, beliau kesusahan untuk duduk karena mulanya berbaring. Kami pun merasa tidak enak hati. Lalu kami pun melakukan sedikit wawancara, minta izin mengambil foto lalu berpamitan. Dan berikut dibawah ini adalah hasil dari wawancara yang kami dapatkan.
     Pondok pesantren ini berdiri sejak 2008 lalu. Kegiatan dilakukan setiap ahad malam dan rabu malam. Yang menggagas pondok pesantern ini adalah ibu maryani, seorang waria kelahiran Yogyakarta. Beliau berjuang sendiri untuk ponpes ini, meskipun kepengurusanpun telah dibentuk, namun kenyataannya itu hanya formalitas, tapi lebih dari formalitas, hanya saja mereka bergerak karena ada kegiatan dan kegiatan tersebut ada karena ibu maryani. Empat tahun lamanya ibu maryani berjuang sendirian dengan motivasi kuat ingin bekerja untuk dunia dan akhirat beliau bisa bertahan hingga sekarang. Memang itu merupakan hal yang hebat, ponpes ini sudah kerap kali mengisi layar kaca kita dan mendapatkan berbagai macam penghargaan. Empat tahun, masih dapat dikatakan umur yang masih muda. Rumah yang di jadikan ponpes tersebut juga adalah rumah sewaan yang mana jika ingin tetap disitu, haruslah memperpanjang masa sewa. Sehingga lagi-lagi berbicara tentang uang. Memang kebanyakan dari waria, seperti yang beliau tuturkan, mereka hanya berpikir tentang uang, uang dan uang. Untuk menghidupi mereka... tentunya. Agar mereka dapat bertahan hidup. Namun dari hasil wawancara kami ini, kami masih merasa kurang karena masih ada hal yang mengganjal... bagaimana hubungan mereka dengan keluarga inti mereka? Karena, sepertinya mereka tidak bersama keluarga mereka lagi...
     Santri berasal dari Yogyakarta, surabaya dan kota lainnya. Di Yogyakarta bekerja dan di ponpes ini adalah berusaha untuk menyeimbangkan mereka dengan ibadah-ibadahnya. Memang ponpes ini hanya sekedar untuk berkumpulnya para waria, yang muslim pastinya tidak tersedia kamar-kamar untuk tidur layaknya pondok pesantren lainnya karena tidak mungkin ibu maryani menampung mereka dan mengurusnya sendirian. Sehingga kebanyakan dari mereka mengontrak atau ngekost di kota gede, dekat gereja danlainnya. Pekerjaan yang mereka lakukan diantaranya mengamen, kerja malam, kerja di salon. Membuat saya berpikir lagi bahwa, tidak ada dari mereka yang bekerja secara formal seperti di kantor, menjadi pegawai.. berwira usaha.. semacam itu.. entah belum ada izin dari pemerintah, mereka yang tidak memenuhi kriteria ataupun mereka yang tidak mau.
     Karena perjuangan ibu Maryani yang sendirian, kini beliau merasa kelelahan. Agenda kedepan, akan ada perkumpulan waria se-indonesia yang akan dilakukan dijogja, sehingga memerlukan izin dari sri sultan. Beberapa orang juga telah mendukung untuk melaksanakan agenda ini. Pada acara inilah yang akan menentukan apakah ponpes ini akan berlanjut ataupun tidak.
Kunjungan kami selanjutnya mengarah ke barat. Karena kami merasa bahwa sudah sering meng-expose selatan (Bantul) kini, kami mencoba meng-expose barat (Godean). Setelah beberapa hari yang lalu bertanya di tempat banyak orang sering bertanya, kami bertanya tentang desa unik di Yogyakarta, maka salah satu tempat yang disarankan adalah desa jetak. Karena desa tersebut addalah desa wisata, ada pengolahan tentang kelingkungan, peternakan dan lainnya selain karena hal itu, salah seorang dari kami memiliki teman yang ber mukim di desa tersebut.
   Saat kami berjalan ke sana, piriran pertama saya, tempat tersebut sepertirumah makan, gubug resto.. semacam itu karena ada gazebo di atas air dimana tempat tersebut banyak orangnya dan juga morotnua. Tapi ternyata hal tersebut adalah sebuah acara. Mulanya kami tampak seperti orang kesasar, mau masuk ragu-ragu, takut salah, belum berani, dan berbagai macam pikiran negatif lainnya. Tapi kami langsung di sapa oleh seorang lelaki berambut putih dengan tinggi hampir sama sepertiku dengan ramah. “silahkan masuk mbak... ikut acara itu kan?” sekiranya itu yang ditanyakan. Kami serentak menjawab tidak, karena kami hanya ingin mengetahui tentang desa wisata di desa jetak. ya, benar, kami tidak salah memarkirkan motor. Tempat tersebut memang desa wisata, pria teersebutmalah mencceritakan tentang desa wisata itu. Rupanya beliau adalah ketuanya, dan acararamai-ramai di gazebo tersebut adalah pertemuan orang-orang se-DIY yang membahas tentang sanitasi. Maka, dibawalah kami mengelilingi lokasi itu.
     Jetak II yang berlokasi di desa Sidokarto, Godean, Sleman, Yogyakarta mulanya memiliki sanitasi yang buruk, warga mencuci, mandi pribadi atau memandikan hewan di kalen-kalen dan juga permasalahan sampah rumah tangga yang tidak terkendali. Pada tahun 2009, desa ini mengikuti lomba yang diadakan pihak unilever dan syukurnya menang dalam kategori “best of the best kepadatan rendah”. Semenjak saat itu, mulailah pembangunan gedung untuk pengelolaan sampah, penanaman TOGA, MCK plus, pengolahan pulup kandang, gardu pandang, gazebo dan lainnya. Tempat tersebut dibangun pada tanah yang merupakan kas desa dimana dulu digunakan sebagai kandang sapi.
Desa wisata disini menyajikan berbagai hal sepeti basis kelingkungan,  perkebunan, perikanan dan peternakan. Pada sektor perikanan, desa ini memiliki kolam ikan yang sangat luas dan berisi berbagai macam ikan sehingga dapat digunakan sebagai lokasi pemancingan. Dalam hal peternakan, ternak sapi dan kambing diberi pakan gedebok karena memanfaatkan limbah dari pohon pisang dan juga dapat memberikan manfaat lainnya. Pada pengolahan sampah. Sedangkan dalam hal kelingkungan, disini disediakan bank sampah yang kemudian sampahnya dikelola dan dijadikan kerajinan dan dapat dijualkembali. Pada sektor perkebunan yang lebih ke tanaman obat keluarga, disini sudah berhasil mengolahnya kembali dan menjualnya untuk dijadikan buah tangan yakni kunir, temulawak, jahe, dikeringkan, dijadikan serbuk sehingga dapat diminum dimanapun yang diinginkan (asal ada air). Desa wisata ini juga dapat dijadikan sarana outbond, pelatihan, pertemuan, dan masih banyak lainnya. Banyak yang sudah berkunjung seperti timor leste, jakarta, dan lainnya. Untuk menjamu tamu, disini  juga disediakan home stay. Sedangkan untuk menambah fasilitas kenyamanan turis, para pengurusnya juga pernah dilatih masalah perjamuan ataupun penyajian makanan dari beberapa hotel Yogyakarta.
     Dalam pengembangan masyarakat tentu memerlukan proses dan waktu yang tidak sebentar, begitu pula yang dialami pada desa jetak II ini. Penggagas dari desa wisata ini adalah dukuhnya sendiri yang sekaliigus menjadi ketuanya, beliau bernama Jayuri. Untuk  menjadikan warganya mau berubah seperti sekarang ini merupakan hal yang sulit dan harus dilakukan secara telaten. Sampai sekarang pun masih terus berjalan karena masih ada warga yang buang air besar di kalen, meremehkan program kewisataan desa, dan lain sebagainya. Memang banyak pengunjung ataupun wisatawan yang memberikan apresiasi pada desa wisata ini, namun dari pihak warganya malah belum banyak yang mengapresiasi dan masih berpikiran negatif. Sehingga ini adalah perjuangan keras dan besar dari pengurusnya yang ada.
     Yang saya dapat simpulkan disini, masih di lingkup DIY saja masyarakatnya sudah banyak dan beragam baik dari segi kepercayaan akan mitos, waria yang mementingkan uang namun juga berusaha untuk tabungan akhirat namun ia hanya berjuang sendiri, dan desa yang telah berkembang menjadi desa wisata dengan berbagai apresiasi dari luar berkar kegigiha ketua dan pengurusnya. Sehingga bila pada lingkup yang lebih luas lagi seluas Indonesia, akan lebih banyak lagi cerita dan persoalan yang ada.
     Demikianlah beberapa hal yang telah kami lakukan dan dapat saya ceritakan atau laporkan dalam tulisan ini.

0 komentar:

Posting Komentar

 
;